Di tengah maraknya kopi susu kekinian dan minuman boba yang merebut perhatian generasi muda saat ini, ada satu minuman tradisional Betawi yang konsisten dengan keunikannya, bir pletok. Namanya memang mengandung kata "bir", tapi minuman ini tidak memabukkan. Wangi rempah hangat, dengan aroma yang khas. Siapa sangka, di balik warna merah keemasannya, tersimpan sejarah panjang sebuah perlawanan budaya.
Bir pletok bukan sekadar minuman, ini adalah minuman yang kental dengan unsur budaya Betawi yang memiliki nilai kekerabatan penuh kenangan bagi sebagian orang yang tumbuh di zamannya. Lahir di tengah penjajahan, ketika bangsa asing menenggak bir beralkohol sebagai lambang status dan kekuasaan, orang betawi menjawab dengan racikan tanpa alkohol. Ketika bir mereka memabukkan, bir pletok menghangatkan. Ketika bir mereka memisahkan, bir pletok menyatukan.
Bir pletok bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang jati diri bangsa. Rasa dan aroma rempah yang unik memiliki banyak khasiat kesehatan seperti menyembuhkan peradangan, anti inflamasi serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh, Bir pletok dikenal dapat menghangatkan serta menyegarkan tubuh, membuatnya menjadi pilihan yang tepat untuk diminum saat cuaca dingin atau setelah beraktivitas.
Cara memasaknya pun sangat sederhana, yakni dengan menggodok air secukupnya bersamaan dengan rempah-rempah terbaik seperti (jahe, serai, kayu manis, kayu secang, daun pandan wangi) hingga mendidih sambil perlahan di aduk merata dengan gula merah sebagai perasa manis nya. Setelah semua bahan tercampur merata, warna, rasa dan aroma yang khas akan muncul dan bir pletok siap untuk dihidangkan.
Aku pertama kali mengenal bir pletok bukan dari pertunjukkan festival budaya, bukan juga dari pameran kuliner. Tapi dari seorang perempuan penuh kasih yaitu ibuku, tangannya hafal betul takaran rempah, terdengar bunyi rebusan dan aroma rempah yang keluar dari dapur rumahku dimasa kecilku, bunyi pletok-pletok dari botol kaca saat ibu meramu minuman itulah yang kemudian namanya menjadi bir pletok.
Dikala ibuku bercerita “Waktu Ibu kecil,” kami sering bantu nenekmu geprek jahe, motong kayu manis, nyuci serai serta bahan lainnya. Rasanya senang, karena tahu nanti malam kami akan santai bersama di teras. “Lucu, pikirku”. Minuman bisa membawa begitu banyak kenangan dan seketika aku bisa membayangkan serunya masa kecil ibu saat itu. Sejak malam itu, bir pletok menjadi lebih dari sekedar minuman, bir pletok adalah pengikat generasi yang penuh kenangan dan kesederhanaan yang penuh makna.
Dalam segelas bir pletok, kita menemukan identitas. Kita menyadari bahwa budaya tidak harus lantang untuk didengar, cukup hadir dengan rasa yang tak tergantikan dengan secangkir bir pletok.
Biodata Penulis:
Maemunah Yani Nuraini - Lahir pada 30 September 1987 di Jakarta. Sarjana Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta, Guru Penggerak DKI Jakarta Angkatan 7, mengajar di SMAN 110 Jakarta sebagai guru mata pelajaran Geografi yang aktif dengan segala aktifitasnya. Kamu bisa simak kegiatannya di youtube @meyjaber4773